BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
- Kajian Pustaka
1.
Pengertian dan Dimensi Umum Pendidikan IPA
Cara pandang guru terhadap hakikat (esensi dan karakteristik) pendidikan
IPA akan mempengaruhi profil pembelajaran IPA yang diselenggarakan guru bersama
siswanya. Oleh karenanya pemahaman yang benar tentang karakteristik pendidikan
IPA mutlak diperlukan guru. Karakteristik tersebut sekurang-kurangnya meliputi
pengertian dan Dimensi (ruang lingkup) pendidikan IPA.
IPA secara sederhana didefinisikan sebagai ilmu tentang fenomena alam
semesta.
Dalam kurikulum pendidikan dasar terdahulu (1994) dijelaskan pengertian
IPA (sains) sebagai hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan
konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman
melalui serangkaian proses ilmiah, antara lain penyelidikan, penyusunan, dan
pengujian gagasan-gagasan.
Dalam kurikulum 2004 sains (IPA) diartikan sebagai cara mencari tahu
secara sistematis tentang alam semesta.
Menurut Herlen (1992: 3) ucapan Enstein: “science is the attempt to make the chaotic diversity of our sense
experience correspond to a logically uniform system of thought”.
Mempertegas bahwa IPA merupakan bentuk uapaya yang membuat berbagai
pengalaman menjadi suatu sistem pola berpikir logis tertentu, yang dikenal
dengan istilah pola berpikir ilmiah.
<--more-->
Untuk membahas hakikat IPA, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebagaimana dikemukakan oleh Dahar RW. (1996: 15-16), sehingga memungkinkan
para guru memahami IPA dalam perspektif yang lebih luas. Menurut Dahar,
sekurang-kurangnya ada tujuh ruang lingkup pemahaman IPA, yaitu:
a.
IPA sebagai Kumpulan Pengetahuan
b.
IPA sebagai suatu Proses Penelusuran (investigation)
c.
IPA sebagai Kumpulan Nilai
d.
IPA sebagai Cara untuk Mengenal Dunia
e.
IPA sebagai Institusi Sosial
f.
IPA sebagai Hasil Konstruksi Manusia
g.
IPA sebagai Bagian dari Kehidupan Sehari-Hari
Ruang lingkup IPA sebagaimana diungkapkan oleh Rusna Ristasa (2009:17)
dapat dikategorikan ke dalam tiga Dimensi, yaitu dimensi produk, Dimensi
proses, dan dimensisikap.
Whyne Harlen (1987) dalam Teaching
and Learning Primary Science menjelaskan Sembilan sikap ilmiah yang harus
dikembangkan sejak dini pada siswa sekolah dasar yang dimunculkan ketika siswa
terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah. Kesembilan sikap tersebut adalah:
a.
Sikap ingin tahu (curiosity);
b.
Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality);
c.
Sikap kerjasama (cooperation);
d.
Sikap tidak putus asa (perseverance);
e.
Sikap terbuka untuk menerima (open-mindedness);
f.
Sikap mawas diri (self critism);
g.
Sikap tanggung jawab (responsibility);
h.
Sikap berpikir bebas (independence in thinking);
i.
Sikap kedisiplinan (self discipline).
Dari keseluruhan uraian tentang hakikat IPA di atas, kiranya cukup jelas
bahwa pendidikan IPA itu bukan sekedar berisi rumus-rumus dan teori-teori,
melainkan suatu proses dan sikap.
2.
Pembelajaran IPA yang Efektif
Dalam buku Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif (Depdiknas, 2003:5-6)
pembelajaran secara umum diartikan sebagai kegiatan belajar mengajar yang
memberdayakan potensi siswa serta mengacu pada pencapaian kompetensi individual
setiap siswa.
Ada baiknya jika guru yang akan merancang pembelajaran IPA di Sekolah
Dasar memperhatikan tujuh ciri utama pembelajaran efektif yang memberdayakan
potensi siswa sebagaimana diuraikan pada buku tersebut (Depdiknas, 2003: 7-11).
Ketujuh ciri itu adalah:
a.
Berpijak pada ciri konstruktivisme.
b.
Berpusat pada siswa.
c.
Belajar dengan mengalami.
d.
Mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan
emosional.
e.
Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan
fitrah ber-Tuhan.
f.
Belajar sepanjang hayat.
g.
Perpaduan kemandirian dan kerjasama.
Pembelajaran IPA yang efektif juga dicerminkan oleh tingginya kadar on-task (aktivitas edukatif) dan
rendahnya kadar off-task (aktivitas
nonedukatif) siswa dalam pembelajaran. Menurut Belen (2003: 42) salah satu
upaya untuk meningkatkan kadar on-task
adalah mengembangkan kegiatan hand-on
(psikomotor) dan mind-on (kognitif)
melalui sejumlah keterampilan (skill)
yang dilakukan siswa dalam kelas.
3.
Pembelajaran Aktif
Model pendekatan pembelajaran aktif menurut S. Belen (2003: 12-24) adalah
cara pandang yang menganggap belajar sebagai kegiatan membangun
makna/pengertian terhadap pengalaman dan informasi yang dilakukan oleh
pengajar.
Suasana pembelajaran aktif adalah suasana belajar mengajar yang membuat
siswa melakukan pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi.
4.
Hasil Belajar Pemahaman
Hasil belajar adalah
kemampuan siswa setelah melalui kegiatan belajar Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) (2001:391) disebutkan bahwa hasil adalah: 1) Sesuatu yang
diadakan atau dibuat, atau dijadikan dsb untuk usaha. 2) Pendapat, perolehan,
buah. 3) Akibat. 4) Pajak,
sewa tanah.
Jhon
M. Kella dalam Mulyono
(2007:391) memandang hasil belajar sebagai keluaran dari suatu sistem
pemprosesan sebagai masukan yang berupa informasi. Berbagai masukan tersebut
dikelompokan menjadi personal input dan environmental input.
Hasil belajar mengacu pada segala
sesuatu yang menjadi milik siswa akibat dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
Menurut Angkowo (2007: 47) belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman ini tidak selalu berbentuk perubahan tingkah
laku yang diamati.
Hasil belajar siswa dipengaruhi
oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang
dari luar siswa. (Lark dalam Angkowo, 2007: 50) mengungkapkan bahwa hasil
belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi oleh siswa dan 30% dipengaruhi oleh
lingkungan.
5.
Kesungguhan Belajar
Secara umum banyak yang mengaitkan kesungguhan belajar dengan minat dan
motivasi. Kesungguhan merupakan aspek penting motivasi yang mempengaruhi
perhatian, belajar, berpikir, dan berprestasi (dalam Pintrich dan Schunk, 1996
seperti dikutip, Hera Lestari Mikarsa, dkk. 2007: 33).
Menurut Krapp, Hidi, dan Remninger seperti dikutip, Hera Lestari Mikarsa,
dkk (2007: 35) “Kesungguhan merupakan dorongan dari dalam diri seseorang atau
faktor yang menimbulkan ketertarikan atau perhatian secara selektif, yang
menyebabkan dipilihnya suatu objek yang menguntungkan, menyenangkan, dan
lama-kelamaan akan mendatangkan kepuasan dalam dirinya.”
6.
Alat Peraga Kongkret
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:24), alat peraga adalah alat
bantu untuk mendidik atau mengajar Supaya apa yang diajarkan mudah dimengerti
oleh anak didik.
Menurut Jean Piaget, sebagaimana dikutip oleh Abin Syamsudin (2006:17),
perkembangan kognitif anak sekolah dasar berada pada tahap perkembangan
operasional kongkret. Pada anak usia ini akan lebih mudah dipahami jika
menggunakan objek-objek kongkret dan anak terlibat langsung di dalamnya.
Hal ini merupakan isyarat bagi guru untuk dapat menciptakan pembelajaran
yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa.
Menurut Nasution, sebagaimana dikutip oleh Udin S. Winata Putra
(2006:915), pada dasarnya siswa memiliki minat (Sense of Interest) dan dorongan ingin melihat kenyataan (Sense of Reality). Upaya untuk
mengembangkan dua potensi siswa tersebut, guru dituntut untuk dapat menentukan
sumber pembelajaran yang menunjukkan kegiatan belajar mengajar.
Sumber belajar yang dapat dengan mudah dihadirkan di dalam kelas,
sehingga secara langsung dapat dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar
adalah alat peraga.
Alat peraga kongkret untuk menjelaskan konsep sumber energi adalah
setrika, matahari, senter, baterai kering, dan gitar. Alat peraga kongkret di
atas digunakan untuk mendemonstrasikan dan menjelaskan tentang konsep sumber
energi.
- Hasil Penelitian Relevan
Hasil penelitian yang bisa dijadikan acuan atau pembanding dalam kajian
penelitian masalah penggunaan alat peraga kongkret untuk meningkatkan hasil
belajar siswa adalah sebagai berikut:
1.
Wakhono (2007) penelitian tentang penggunaan alat
peraga kongkret.
a.
Masalah yang diteliti adalah apakah penggunaan
alat peraga kongkret dapat meningkatkan hasil belajar siswa?
b.
Tujuan penelitiannya adalah meningkatkan hasil
belajar siswa tentang kompetensi dasar mengidentifikasi sumber-sumber energi
yang ada di lingkungan sekitar.
c.
Metode yang digunakan adalah metode pembelajaran
aktif dan penggunaan alat peraga kongkret.
d.
Kesimpulan yang didapat dalam penelitian Wakhono
adalah bahwa penggunaan alat peraga kongkret dapat meningkatkan hasil belajar
siswa yang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Hasil
Belajar Siswa (Wakhono: 2007)
No
|
Perbaikan Pembelajaran
|
Hasil Belajar Siswa
|
||||
Nilai Rata-Rata Kelas
|
Tuntas
|
Persentase
|
Belum
|
Persentase
|
||
1.
|
Studi Awal
|
60
|
6
|
27,27
|
16
|
72,73
|
2.
|
Siklus I
|
65
|
12
|
54,55
|
10
|
45,45
|
3.
|
Siklus II
|
73
|
16
|
72,73
|
6
|
27,27
|
4.
|
Siklus III
|
85
|
21
|
95,46
|
1
|
4,54
|
2.
Sudirman (2008) “Upaya Peningkatan Hasil Belajar
Siswa Terhadap Konsep Sumber Energi melalui Penggunaan Alat Peraga Kongkret
dalam Model Pembelajaran Aktif.
a.
Masalah yang diteliti adalah rendahnya hasil
belajar siswa pada mata pelajaran IPA?
b.
Tujuan penelitiannya adalah meningkatkan hasil
belajar siswa mata pelajaran IPA.
c.
Metode yang digunakan adalah metode pembelajaran
aktif dan penggunaan alat peraga kongkret.
d.
Kesimpulan yang didapat dalam penelitian
Sudirman adalah bahwa penggunaan alat peraga kongkret dapat meningkatkan hasil
belajar siswa yang dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Hasil
Belajar Siswa (Sudirman: 2008)
No
|
Perbaikan Pembelajaran
|
Hasil Belajar Siswa
|
||||
Nilai Rata-Rata Kelas
|
Tuntas
|
Persentase
|
Belum
|
Persentase
|
||
1.
|
Studi Awal
|
65
|
5
|
27,78
|
13
|
72,22
|
2.
|
Siklus I
|
70
|
12
|
66,67
|
6
|
33,33
|
3.
|
Siklus II
|
92
|
18
|
100
|
0
|
0
|
- Kerangka Berpikir
Hasil belajar siswa yang masih rendah pada siswa harus segera diperbaiki.
Apabila diperhatikan, untuk meningkatkan hasil belajar dalam bentuk pengaruh
instruksional dan untuk mengarahkan pengaruh pengiring kepada hal-hal yang lain
yang positif dan berguna bagi para siswa sendiri, guru harus pandai memilih apa
isi pengajaran dan bagaimana sebaiknya pengelolaan proses belajarnya. Belajar
menggunakan alat peraga kongkret menekankan bagaimana bahan pelajaran itu
diajarkan dan dipelajari.
Proses pengajaran merupakan peristiwa yang menyediakan berbagai
kesempatan bagi peserta didik untuk terlibat aktif dalam kegiatan belajar.
Proses belajar itu sendiri menyangkut perubahan aspek-aspek tingkah laku, seperti
pengetahuan, sikap dan keterampilan. Untuk itu diperlukan ketepatan media yang
mampu mengaktifkan siswa, yaitu alat peraga kongkret. Pada proses pembelajaran,
diharapkan penanaman fakta dan konsep benar-benar melalui proses yang dialami
langsung oleh siswa. Dengan penggunaan alat peraga kongkret diharapkan akan
meningkatkan tujuan pembelajaran. Di samping itu, siswa juga diupayakan untuk
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang dikembangkan, yaitu pengamatan,
penggolongan, penafsiran, peramalan, penerapan, perencanaan penelitian, dan
pengkomunikasian. Melalui pembelajaran seperti ini akan lebih bermakna dan
berkesan bagi siswa yang pada akhirnya akan mampu memperoleh hasil yang
optimal. Dengan demikian dapat dibuat bagan sebagai berikut:
Tindakan
|
Tindakan
|
Guru menggunakan
alat peraga kongkret
|
Siklus I
Menggunakan alat peraga
kongkret secara klasikal
|
Siklus II
Menggunakan alat peraga
kongkret secara kelompok dengan posisi duduk setengah lingkaran
|
Siklus III
Menggunakan alat peraga
kongkret berkelompok kecil dengan posisi tempat duduk setengah lingkaran
|
Hasil belajar IPA meningkat
|
Guru belum
menggunakan alat peraga kongkret
|
Kondisi awal
|
Hasil belajar IPA rendah
|
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
- Hipotesis Tindakan
Dengan memperhatikan dan merujuk pada uraian yang dikemukakan di atas,
maka hipotesis tindakannya adalah “penggunaan
alat peraga kongkret dalam model pembelajaran aktif akan dapat meningkatkan
hasil belajar siswa tentang konsep sumber energi, baik secara individual maupun
klasikal”.
bingung nh ptk lengkap ipa gaya dorongan dan tarikan
ReplyDelete